KISAH NELAYAN YANG TAMAK


Suatu ketika, malam tampak begitu indah di sebuah pantai. Bulan bersinar terang, purnama itu tampak cemerlang. Langit cerah penuh dengan bintang. Tak ada awan gelap yang berarak terbilang. Tak ada angin pasang apalagi gelombang besar yang menghadang.

Hari itu memang hari yang baik untuk melaut. Karenanya, tampak dua perahu nelayan yang sedang tenang di atas lautan. Perahu itu terlihat bergoyang tenang seirama dengan gelombang. Kedua nelayan diatasnya sibuk dengan jala dan umpan yang mereka siapkan.

Telah beberapa saat mereka berada disana. Hasil tangkapan yang mereka dapat pun telah cukup banyak. Namun salah seorang dari mereka berkata, "Aku ingin punya ikan lebih banyak. Pasti kalau aku berlayar lebih jauh aku akan mendapatkan tangkapan lebih baik dari ini semua. Aku yakin disana ikannya lebih besar-besar," teriaknya sambil menarik jala.

Terdengar sahutan dari perahu lainnya. "Hei, jangan tamak. Disini saja ikannya sudah cukup besar. Perahumu pun tak akan cukup mengangkut semua ikan. Ingat, muatan kita terbatas dan perbekalan kita tak cukup banyak. Kita tentu tak akan mau kembali dengan perahu yang karam. Lagipula fajar akan tiba sesampainya kau disana.

Sayangnya nasehat itu tak di gubris. Nelayan itu malah berkata, "Ah, kamu memang pemalas. Kalau aku kurangi sebagian dari isi perahuku, tentu aku akan dapat memuat lebih banyak ikan," seru sang Nelayan. "Aku akan tetap melaut lebih jauh sampai kudapatkan ikan yang lebih besar"

Nelayan tamak itu tetap berlalu sambil membuang beberapa muatan untuk mengharap tangkapan yang lebih banyak. Bahkan dibuangnya sebagian hasil ikannya kembali ke laut. Dan ia pun melaju berharap menemukan ikan yang lebih besar.

Nafsu dunia memang kadang sulit di halangi. Tak ada yang dapat dilakukan nelayan lain terhadap tingkah nelayan tamak tadi. Setelah merasa cukup dengan semua hasil tangkapannya, nelayan itu pun bersiap pulang. Lama ia menyusuri keheningan malam. Dipandanginya semua hasil tangkapan itu sambil membayangkan kegembiraan anak dan istrinya di rumah. Ia dapat melukiskan ucapan syukur dan celoteh anak dan istrinya setelah melihat semuanya.

Tiba-tiba renungan itu terhenti ketika ada bias-bias cahaya remang yang datang dari arah belakang. Siapa itu? Dipacunya perahu itu kembali ke arah lautan. Ternyata tampaklah disana nelayan sahabatnya yang sedang terapung-apung sambil memegang sebilah papan dan sebuah pelita. Segera saja di lemparkannya seutas tali dan berusaha menarik nelayan itu dari air. Sekuat tenaga ia menarik tubuh itu keatas dan akhirnya perlahan tubuh lemas itu dapat duduk di atas perahu.

Nelayan itu kelelahan. Setelah pulih dan tenang kembali mulailah ia bertanya, "Ada apa denganmu? Kemana perahu dan semua hasil tangkapanmu? Pelan, nelayan yang semula tamak tadi mulai bicara, "Aku menyesal. Aku memang mendapat ikan besar disana, tapi karena muatan terlalu banyak aku kehilangan pandangan," ujarnya perlahan.

"Aku kehilangan kendali dan ada karang besar yang ada di depan perahuku. Perahuku menabrak karang itu dan kini hancur. Untunglah ada papan dan pelita yang aku pegang. Dengan inilah aku bisa menarik perhatianmu. Terima kasih telah mau menolongku walau sikapku menyakitkanmu. Ah, mungkin anak-istriku tak mendapat rezeki besok. Aku sangat menyesal." Kalimat-kalimat itu terus meluncur seakan tak terhenti.

Teman, siapakah nelayan yang tamak itu? Bisa jadi tangan ini akan menunjuk diri kita sendiri. Mungkin sosok itu adalah cermin dari semua sikap kita selama ini. Sikap yang tamak, tak pernah puas, tak pernah bersyukur dan bisa jadi tak pernah ikhlas menerima setiap anugrah yang diberikan-Nya.

Adakah kita terbuai pada "ikan-ikan besar" yang cuma ada pada lamunan-lamunan kita? Adakah kita berharap pada banyak hal sementara telah ada beragam rezeki yang diberikan-Nya buat kita? Adakah kita tak pernah puas pada setiap hal yang ada di depan mata, di sekitar jangkauan kita, di seputar kita yang menanti untuk diambil berkahnya?

Adakah "lautan jauh dengan ikan besar" itu terlampau membutakan kita pada setiap rezeki yang telah menjadi hak kita? Adakah semua yang kita miliki sekarang tak pernah cukup untuk dapat memuati "perahu hidup" kita? Adakah itu semua menghalangi pandangan kita untuk bersyukur pada Ilahi. Padahal di sekitar kita ada banyak sekali rahmah, ada banyak sekali berkah.

Teman, sesungguhnya ada banyak sekali "ikan-ikan kecil" di sekeliling kita yang siap untuk diambil. Adakah itu semua tampak hanya seperti remah-remah tak berarti atau serpihan-serpihan yang tak pernah cukup untuk memuati "perahu nafsu kita? Apa lagi yang kita cari untuk memuasi itu semua?

Dan sesungguhnya memang muatan dan perbekalan "hidup" kita memang sangat terbatas. Seperti halnya dalam melaut, selalu saja ada fajar yang akan menanti yang akan membuat kita berhenti untuk mencari ikan.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Copyright © 2015 Berbagi Cerita & Tips | Distributed By My Blogger Themes | Designed By Blokotka